Mengkaji Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di Sekolah

Mengkaji Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di Sekolah

gambar website smayamtala rarusak - 404 image not found - photo not available
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Ekstra Kurikuler di sekolah tidak dapat terlepas dari pengembangan kurikulumnya. Artinya, setiap kebijakan baru di sekolah harus menyentuh wilayah kurikulum. Dengan demikian, kebijakan untuk memperkenalkan dan/atau memberdayakan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah mau tidak mau harus dan perlu mengkaji kurikulum yang berlaku (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pembahasan kebijakan baru tentang PLH ini perlu diawali dengan mengkaji hakekat kurikulum dan hakekat PLH serta hakekat lingkungan hidup. Dari kajian ini baru dirumuskan tentang suplemen kurikulum PLH sebagai kebijakan baru penyelenggaraan PLH di sekolah. Selain itu, makna pengembangan kurikulum perlu dikaji sebelum mengkaji pengembangan kurikulum PLH.

Ihwal hakekat kurikulum, para ahli memberikan batasan kurikulum secara beragam, mulai dari sekedar written curriculum sebagai dokumen tertulis sampai pada implemented curriculum. Batasan-batasan ini sangat bergantung pada pandangan dan pengalaman para ahli. Tidak ada batasan yang mutlak benar dan juga mutlak salah. Lazimnya, mereka memaparkan perspektif yang berbeda-beda dalam cakupan yang lebih luas dan lebih kompleks. Istilah kurikulum sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1820. Kata 'kurikulum' berasal dari bahasa latin currere yang berarti to run (menyelenggarakan) atau Vo run the course* (menyelenggarakan suatu pengajaran).

Selanjutnya, batasan tradisional itu mengartikan kurikulum sebagai 'the course of study' (materi yang dipelajari). Pada waktu itu, para ahli seperti Hutchins, R.M. (1936), Bestor, A. (3956), Phenix, P.H. (1962) beranggapan hakekat kurikulum seperti batasan ini: 'The curriculum should consist of permanent studies'. Lebih lanjut dinyaiakan bahwa: 'The curriculum must consist essentially of disciplined study in five great areas: local language, Mathematics, Science, history, foreign languages'. Batasan ini mengacu pada kurikulum sebagai 'produk'. Beberapa ahli berkeberatan dengan pandangan ini. Kilahnya, bukankah informasi dan pengetahuan yang terangkai dalam suatu disiplin keilmuan selalu bertambah -kian waktu kian banyak- sehingga mustahil dapat dimuat dalam suatu dokumen kurikulum dalam wujud the course of study. Sejak itu, para ahli mulai membedakan sejumlah batasan kurikulum sebagai planned and unplanned (hidden) curriculum - technical and practical learnings.

Franklin Bobbit (1924) menyatakan bahwa: “The curriculum can be defined in two ways: (I) it is the range of experiences, both indirect and directed, concerned in unfolding the abilities of the individual' atau (2) it is a series of consciously directed training experiences that the schools use for completing and perfecting the individual".

Batasan ini menyiratkan kurikulum sebagai 'pengalaman peserta didik'. Diungkapkan juga bahwa; "(Curriculum is) that series of things which children and youth must do and experience by way of developing abilities to do things well that make up the affairs of adult life; and to be in all respects what adults should be". Selanjutnya, Caswell dan Campbell (1935) mempertajam batasan ini dengan mengaitkannya dengan peran institusi dan mereka mengungkapkan bahwa 'the curriculum is composed of all of the experiences children have under the guidance of the school.'' Pada pertengahan tahun 1950 an batasan ini dipertegas lagi dengan tambahan 'terencana dan terkendali' sehingga kurikulum sebagai program terencana untuk mencapai tujuan pendidikan (Tyler, 1957).

Pandangan terakhir dimulai pada awal tahun 50 an sampai 90 an. Menurut pandangan ini, batasan kurikulum lebih mengacu pada end dan outcomes (tagihan pcmbelajaran sebagai kinerja lulusan). Salah satu ahli yang berpandangan seperti ini adalah Johnson (1970) sebagaimana diungkapkannya: "Curriculum is concerned not with what students will do in the learning situation, but with what they will learn as a consequence of what they do. Curriculum is concerned with results". Lain lagi dengan Saylor, dkk (1981) yang memandang kurikulum dalam empat pandangan yaitu: (1) Kurikulum sebagai tujuan (The curriculum as objectives), (2) Kurikulum sebagai kesempatan belajar yang terencana (The curriculum as planned opportunities for learning), (3) Kurikulum sebagai mata pelajaran/mata kuliah (The curriculum as subjects and subject matter), dan (4) kurikulum sebagai pengalaman (The curriculum as experience).

Dulu pengembangan kurikulum hanya semata-mata dilandasi pada perumusan tujuan. Dengan pendekalan manajemen ilmiah dalam dunia industri, Bobbil (1924) menerapkan prinsip ini dengan menetapkan tujuan yang meliputi keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan bagi lulusan. Konsep tentang kurikulum sebagai tujuan banyak mempengaruhi dunia pendidikan, terutama banyak digunakan sebagai model sekolah kejuruan.

Kurikulum sebagai kesempatan belajar yang terencana dapat pula diartikan sebagai penyediaan lingkungan belajar di mana Peserta didik dapat memahami seperangkat makna dari lingkungan tersebut. Karena itu, model kurikulum seperti ini dapat dianggap sebagai 'kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran' atau 'kurikulum yang berpusat pada kompetensi'. Sementara itu, kurikulum sebagai mata pelajaran memang berlaku sampai hari ini, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun di perguruan tinggi. Karena itu kita masih ingat pada kurikulum 1984, di mana program kurikulumnya terdiri program inti dan program pilihan. Tiap program terdiri dan kelompok mata pelajaran. Jenis keempat adalah kurikulum sebagai pengalaman.

Goodlad (dalam Saylor dkk, 1981), membedakan kurikulum formal (formal curriculum) dengan kurikulum yang diterima peserta didik (experienced curriculum). Diskrepansi yang terlalu besar pada kedua jenis kurikulum ini sangat mempengaruhi kualitas lulusan. Kalau diskrepansinya besar kualitasnya rendah, dan sebaliknya. Oleh karena itu, upaya pembinaan di lembaga pendidikan dilakukan untuk memperkecil diskrepansi ini.

Bagaimana dengan makna dan esensi kurikulum di Indonesia? Kita dapat menggunakan batasan yang termuat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Pada pasal 1 dinyatakan bahwa: "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran seria cara yang digunakan sebagai pedoman menyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Selanjutnya pada pasal Pasal 37 Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah wajib memuat:
• Pendidikan Agama;
• Pendidikan Kewarganegaraan;
• Bahasa;
• Matematika;
• Ilmu Pengetahuan Alam;
• Ilmu Pengetahuan Sosial;
• Seni dan Budaya;
• Pendidikan Jasmani dan Olahraga;
• Keterampilan Kejuruan; dan
• Muatan Lokal".

Batasan di atas mengisyaratkan bahwa kurikulum mencakup berbagai aspek seperti tujuan (objectives), materi (content), pengalaman Peserta didik (experiences), dan sasaran pembelajaran (end/outcomes). Dengan demikian, secara yuridis formal, batasan kurikulum kita sudah mencakup dua dimensi pokok kurikulum; produk dan proses. Dalam konteks pendidikan lingkungan, fokus perhatian tertuju pada end/outcomes sebagai wujud kinerja lulusan yang di antaranya peduli, memiliki apresiasi, dan bersikap positif terhadap lingkungan. Ini tentu berimplikasi pada setiap kegiatan pembelajaran pendidikan lingkungan di sekolah di mana lulusan diarahkan pada paradigma dan prilaku yang berwawasan lingkungan.

Pengetahuan tentang lingkungan hidup merupakan hasil belajar. Menurut Bloom (1966), pengetahuan sebagai hasil belajar termasuk dalam ranah kognitif, yang aspeknya terdiri dari: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) aplikasi, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi. Mengacu kepada pandangan Bloom di atas Adtwikarta (dalam Zahara, T, 2003) berpendapat bahwa segi-segi kognitif yang dimiliki warga belajar menyangkut pada pengetahuan, pemahaman, kemampuan menganalisis lingkungan hidup serta fungsinya dalam kehidupan. Dengan demikian, pengetahuan tentang lingkungan hidup tersebut dapat meningkatkan partisipasi masyarakat baik secara individu maupun secara kelompok sehingga keseimbangan dan keiestarian lingkungan dapat tercapai.

Berdasarkan pengenalan tentang liku-liku dan seluk beluk lingkungan hidup, jelaslah manusia sampai saat ini telah mengeloia secara sepihak. Yakni dengan kecenderungan dan perhatian yang besar bagi pencapaian kebutuhan sendiri dalam jangka yang pendek, bersikap sangat eksploitatif dan tanpa disadari mengelabui diri sendiri karena berbagai kegiatannya dalam jangka panjang akan meracuni kelangsungan dan kesejahteraan sendiri. Terlihat bahwa manusia memandang kebutuhan dan kepentingannya diatas segalanya dalam kehidupan ini.

Paling tidak ada tiga motif atau nilai yang mendasari dukungan individu terhadap permasalahan lingkungan, yaitu ekosentrik (ecocentric), antroposentrik (anthropocmtric) dan apalis. Individu yang berpandangan ekosentrik menilai bahwa perlindungan terhadap lingkungan dilakukan untuk kepentingan lingkungan itu sendiri, sehingga mereka berpendapat bahwa lingkungan memang patut mendapatkan perlindungan karena nilai-nilai intrinsik yang dikandungnya. Individu yang berpandangan antroposentrik berpendapat bahwa lingkungan perlu dilindungi karena nilai yang terkandung dalam lingkungan sangat bermanfaat terhadap kelangsungan hidup manusia Sedangkan apatis adalah ketidakpedulian terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan (Thompson dan Barton, 1994).

Hasil penelitian Thompson dan Barton (1994) menunjukkan bahwa individu yang memiliki sikap ekosentrik cenderung lebih banyak memberikan perhatian terhadap permasalahan lingkungan dan lebih banyak terlibat dalam kegiatan konservasi lingkungan. Sebaliknya individu yang memiliki sikap antroposentnk cenderung memiliki perhatian yang kurang terhadap permasalahan lingkungan dan jarang melakukan kegiatan konservasi atau perlindungan lingkungan. Perhatian mereka terhadap lingkungan lebih disebabkan karena kepentingan dirinya. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ekosentrik dan antroposentrik terletak pada cara pandang individu terhadap alam dimana ekosentrik menilai dari segi spiritual atau moral sedangkan antroposentrik menilainya sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan (Farhati, 1995).

Source:
• Bobbit F. (1924). How to make curriculum. Boston: Houghton Milfflin.
• Depdiknas. (1993). Kurikulum Sekolah Menengah Umum, Landasan Program, dan Pengembangan, Proyek Peningkatan SMA, Tenaga Edukatif, dan BPG Jawa Barat.
• Depdiknas. (2006). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Dikdasmen
• Farhati, F., (1995). Sikap Ekosentrik dan Antroposentrik Terhadap Lingkungan. Laporan Studi Kasus Sosial. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
• Karim, S.A. (2003). Program PKLH Jalur Sekolah: Kajian dari perspektif kurikulum dan hakekat belajar mengajar (http://depdiknas.go.id).
• Phenix, P.H. (1962) The Discipline as Curriculum Content, dalam Harry Passow (Ed), Curriculum Crossroads, New York: Teachers College Press.
• Utomo, Erry (1997), Pokok-Pokok Pengertian dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
• Zahara, T. Dj. (2003). Perilaku berwawasan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan dilihat dari keinovatifan dan pengetahuan tentang lingkungan (http://depdiknas.go.id)
Previous Post
Next Post

post written by:

Klub Pecinta Lingkungan dan Penggiat Olahraga Alam Bebas

0 Comments: